Senin, 04 Juli 2011

Khalifah Umar bin Khattab (Khalifah Idolaku)


Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu

Seorang pemuda yang gagah perkasa berjalan dengan langkah yang mantap mencari Nabi hendak membunuhnya. Ia sangat membenci Nabi, dan agama baru yang dibawanya. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seseorang yang bernama Naim bin Abdullah yang menanyakan tujuan perjalanannya tersebut. Kemudian diceritakannya niatnya itu. Dengan mengejek, Naim mengatakan agar ia lebih baik memperbaiki urusan rumah tangganya sendiri terlebih dahulu. Seketika itu juga pemuda itu kembali ke rumah dan mendapatkan ipar lelakinya sedang asyik membaca kitab suci Al-Qur’an. Langsung sang ipar dipukul dengan ganas, pukulan yang tidak membuat ipar maupun adiknya meninggalkan agama Islam. Pendirian adik perempuannya yang teguh itu akhirnya justru menentramkan hatinya dan malahan ia memintanya membaca kembali baris-baris Al-Qur’an. Permintaan tersebut dipenuhi dengan senang hati. Kandungan arti dan alunan ayat-ayat Kitabullah ternyata membuat si pemuda itu begitu terpesonanya, sehingga ia bergegas ke rumah Nabi dan langsung memeluk agama Islam. Begitulah pemuda yang bernama Umar bin Khattab, yang sebelum masuk Islam dikenal sebagai musuh Islam yang berbahaya. Dengan rahmat dan hidayah Allah, Islam telah bertambah kekuatannya dengan masuknya seorang pemuda yang gagah perkasa. Ketiga bersaudara itu begitu gembiranya, sehingga mereka secara spontan mengumandangkan “Allahu Akbar” (Allah Maha Besar). Gaungnya bergema di pegunungan di sekitarnya.
Umar masuk agama Islam pada usia 27 tahun. Beliau dilahirkan di Makkah, 40 tahun sebelum hijrah. Silsilahnya berkaitan dengan garis keturunan Nabi pada generasi ke delapan. Moyangnya memegang jabatan duta besar dan leluhurnya adalah pedagang. Ia salah satu dari 17 orang Makkah yang terpelajar ketika kenabian dianugerahkan kepada Muhammad SAW.

Dengan masuknya Umar ke dalam agama Islam, kekuatan kaum Muslimin makin bertambah tangguh. Ia kemudian menjadi penasehat utama Abu Bakar selama masa pemerintahan dua setengah tahun. Ketika Abu Bakar mangkat, ia dipilih menjadi khalifah Islam yang kedua, jabatan yang diembannya dengan sangat hebat selama sepuluh setengah tahun. Ia meninggal pada tahun 644 M, dibunuh selagi menjadi imam sembahyang di masjid Nabi. Pembunuhnya bernama Feroz alias Abu Lu’lu, seorang Majusi yang tidak puas.

Ajaran-ajaran Nabi telah mengubah suku-suku bangsa Arab yang suka berperang menjadi bangsa yang bersatu, dan merupakan suatu revolusi terbesar dalam sejarah manusia. Dalam masa tidak sampai 30 tahun, orang-orang Arab yang suka berkelana telah menjadi tuan sebuah kerajaan terbesar di waktu itu. Prajurit-prajuritnya melanda tiga benua terkenal di dunia, dan dua kerajaan besar Caesar (Romawi) dan Chesroes (Parsi) bertekuk lutut di hadapan pasukan Islam yang perkasa. Nabi telah meninggalkan sekelompok orang yang tidak mementingkan diri, yang telah mengabdikan dirinya kepada satu tujuan, yakni berbakti kepada agama yang baru itu. Salah seorang di antaranya adalah Umar al-Faruq, seorang tokoh besar, di masa perang maupun di waktu damai. Tidak banyak tokoh dalam sejarah manusia yang telah menunjukkan kepintaran dan kebaikan hati yang melebihi Umar, baik sebagai pemimpin tentara di medan perang, maupun dalam mengemban tugas-tugas terhadap rakyat serta dalam hak ketaatan kepada keadilan. Kehebatannya terlihat juga dalam mengkonsolidasikan negeri-negeri yang telah di taklukkan.

Islam sempat dituduh menyebarluaskan dirinya melalui ujung pedang. Tapi riset sejarah modern yang dilakukan kemudian membuktikan bahwa perang yang dilakukan orang Muslim selama kekhalifahan Khulafaurrosyidin adalah untuk mempertahankan diri.

Sejarawan Inggris, Sir William Muir, melalui bukunya yang termasyur, Rise, Decline and Fall of the Caliphate, mencatat bahwa setelah penaklukan Mesopotamia, seorang jenderal Arab bernama Zaid memohon izin Khalifah Umar untuk mengejar tentara Parsi yang melarikan diri ke Khurasan. Keinginan jenderalnya itu ditolak Umar dengan berkata, “Saya ingin agar antara Mesopotamia dan negara-negara di sekitar pegunungan-pegunungan menjadi semacam batas penyekat, sehingga orang-orang Parsi tidak akan mungkin menyerang kita. Demikian pula kita, kita tidak bisa menyerang mereka. Dataran Irak sudah memenuhi keinginan kita. Saya lebih menyukai keselamatan bangsaku dari pada ribuan barang rampasan dan melebarkan wilayah penaklukkan. Muir mengomentarinya demikian: “Pemikiran melakukan misi yang meliputi seluruh dunia masih merupakan suatu embrio, kewajiban untuk memaksakan agama Islam melalui peperangan belum lagi timbul dalam pikiran orang Muslimin.”

Umar adalah ahli strategi militer yang besar. Ia mengeluarkan perintah operasi militer secara mendetail. Pernah ketika mengadakan operasi militer untuk menghadapi kejahatan orang-orang Parsi, beliau yang merancang kopmposisi pasukan Muslim, dan mengeluarkan perintah dengan detailnya. Saat beliau menerima khabar hasil pertempurannya beliau ingin segera menyampaikan berita gembira atas kemenangan tentara kaum Muslimin kepada penduduk, lalu Khalifah Umar berpidato di hadapan penduduk Madinah: “Saudara-saudaraku! Aku bukanlah rajamu yang ingin menjadikan Anda budak. Aku adalah hamba Allah dan pengabdi hamba-Nya. Kepadaku telah dipercayakan tanggung jawab yang berat untuk menjalankan pemerintahan khilafah. Adalah tugasku membuat Anda senang dalam segala hal, dan akan menjadi hari nahas bagiku jika timbul keinginan barang sekalipun agar Anda melayaniku. Aku berhasrat mendidik Anda bukan melalui perintah-perintah, tetapi melalui perbuatan.”

Pada tahun 634 M, pernah terjadi pertempuran dahsyat antara pasukan Islam dan Romawi di dataran Yarmuk. Pihak Romawi mengerahkan 300.000 tentaranya, sedangkan tentara Muslimin hanya 46.000 orang. Walaupun tidak terlatih dan berperlengkapan buruk, pasukan Muslimin yang bertempur dengan gagah berani akhirnya berhasil mengalahkan tentara Romawi. Sekitar 100.000 orang serdadu Romawi tewas sedangkan di pihak Muslimin tidak lebih dari 3000 orang yang tewas dalam pertempuran itu. Ketika Caesar diberitakan dengan kekalahan di pihaknya, dengan sedih ia berteriak: “Selamat tinggal Syria,” dan dia mundur ke Konstantinopel.

Beberapa prajurit yang melarikan diri dari medan pertempuran Yarmuk, mencari perlindungan di antara dinding-dinding benteng kota Yerusalem. Kota dijaga oleh garnisun tentara yang kuat dan mereka mampu bertahan cukup lama. Akhirnya uskup agung Yerusalem mengajak berdamai, tapi menolak menyerah kecuali langsung kepada Khalifah sendiri. Umar mengabulkan permohonan itu, menempuh perjalanan di Jabia tanpa pengawalan dan arak-arakan kebesaran, kecuali ditemani seorang pembantunya. Ketika Umar tiba di hadapan uskup agung dan para pembantunya, Khalifah menuntun untanya yang ditunggangi pembantunya. Para pendeta Kristen lalu sangat kagum dengan sikap rendah hati Khalifah Islam dan penghargaannya pada persamaan martabat antara sesama manusia. Uskup agung dalam kesempatan itu menyerahkan kunci kota suci kepada Khalifah dan kemudian mereka bersama-sama memasuki kota. Ketika ditawari bersembahyang di gereja Kebaktian, Umar menolaknya dengan mengatakan: “Kalau saya berbuat demikian, kaum Muslimin di masa depan akan melanggar perjanjian ini dengan alasan mengikuti contoh saya.” Syarat-syarat perdamaian yang adil ditawarkan kepada orang Kristen. Sedangkan kepada orang-orang Yahudi, yang membantu orang Muslimin, hak milik mereka dikembalikan tanpa harus membayar pajak apa pun.

Penaklukan Syria sudah selesai. Seorang sejarawan terkenal mengatakan: “Syria telah tunduk pada tongkat kekuasaan Khalifah, 700 tahun setelah Pompey menurunkan tahta raja terakhir Macedonia. Setelah kekalahannya yang terakhir, orang Romawi mengaku takluk, walaupun mereka masih terus menyerang daerah-daerah Muslimin. Orang Romawi membangun sebuah rintangan yang tidak bisa dilalui, antara daerahnya dan daerah orang Muslim. Mereka juga mengubah sisa tanah luas miliknya di perbatasan Asia menjadi sebuah padang pasir. Semua kota di jalur itu dihancurkan, benteng-benteng dibongkar, dan penduduk dipaksa pindah ke wilayah yang lebih utara. Demikianlah keadaannya apa yang dianggap sebagai perbuatan orang Arab Muslim yang biadab sesungguhnya hasil kebiadaban Byzantium.” Namun kebijaksanaan bumi hangus yang sembrono itu ternyata tidak dapat menghalangi gelombang maju pasukan Muslimin. Dipimpin Ayaz yang menjadi panglima, tentara Muslim melewati Tarsus, dan maju sampai ke pantai Laut Hitam.

Menurut sejarawan terkenal, Baladhuri, tentara Islam seharusnya telah mencapai Dataran Debal di Sind. Tapi, kata Thabari, Khalifah menghalangi tentaranya maju lebih ke timur dari Mekran.

Suatu penelitian pernah dilakukan untuk menunjukkan faktor-faktor yang menentukan kemenangan besar operasai militer Muslimin yang diraih dalam waktu yang begitu singkat. Kita ketahui, selama pemerintahan khalifah yang kedua, orang Islam memerintah daerah yang sangat luas. Termasuk di dalamnya Syria, Mesir, Irak, Parsi, Khuzistan, Armenia, Azerbaijan, Kirman, Khurasan, Mekran, dan sebagian Baluchistan. Pernah sekelompok orang Arab yang bersenjata tidak lengkap dan tidak terlatih berhasil menggulingkan dua kerajaan yang paling kuat di dunia. Apa yang memotivasikan mereka? Ternyata, ajaran Nabi SAW. telah menanamkan semangat baru kepada pengikut agama baru itu. Mereka merasa berjuang hanya demi Allah semata. Kebijaksanaan khalifah Islam kedua dalam memilih para jenderalnya dan syarat-syarat yang lunak yang ditawarkan kepada bangsa-bangsa yang ditaklukan telah membantu terciptanya serangkaian kemenangan bagi

kaum Muslimin yang dicapai dalam waktu sangat singkat.

Bila diteliti kitab sejarah Thabari, dapat diketahui bahwa Umar al-Faruq, kendati berada ribuan mil dari medan perang, berhasil menuntun pasukannya dan mengawasi gerakan pasukan musuh. Suatu kelebihan anugerah Allah yang luar biasa. Dalam menaklukan musuhnya, khalifah banyak menekankan pada segi moral, dengan menawarkan syarat-syarat yang lunak, dan memberikan mereka segala macam hak yang bahkan dalam abad modern ini tidak pernah ditawarkan kepada suatu bangsa yang kalah perang. Hal ini sangat membantu memenangkan simpati rakyat, dan itu pada akhirnya membuka jalan bagi konsolidasi administrasi secara efisien. Ia melarang keras tentaranya membunuh orang yang lemah dan menodai kuil serta tempat ibadah lainnya. Sekali suatu perjanjian ditandatangani, ia harus ditaati, yang tersurat maupun yang tersirat.

Berbeda dengan tindakan penindasan dan kebuasan yang dilakukan Alexander, Caesar, Atilla, Ghengiz Khan, dan Hulagu. Penaklukan model Umar bersifat badani dan rohani.

Ketika Alexander menaklukan Sur, sebuah kota di Syria, dia memerintahkan para jenderalnya melakukan pembunuhan massal, dan menggantung seribu warga negara terhormat pada dinding kota. Demikian pula ketika dia menaklukan Astakher, sebuah kota di Parsi, dia memerintahkan memenggal kepala semua laki-laki. Raja lalim seperti Ghengiz Khan, Atilla dan Hulagu bahkan lebih ganas lagi. Tetapi imperium mereka yang luas itu hancur berkeping-keping begitu sang raja meninggal. Sedangkan penaklukan oleh khalifah Islam kedua berbeda sifatnya. Kebijaksanaannya yang arif, dan administrasi yang efisien, membantu mengonsolidasikan kerajaannya sedemikian rupa. Sehingga sampai masa kini pun, setelah melewati lebih dari 1.400 tahun, negara-negara yang ditaklukannya masih berada di tangan orang Muslim. Umar al-Faruk sesungguhnya penakluk terbesar yang pernah dihasilkan sejarah.

Sifat mulia kaum Muslimin umumnya dan Khalifah khususnya, telah memperkuat kepercayaan kaum non Muslim pada janji-janji yang diberikan oleh pihak Muslimin. Suatu ketika, Hurmuz, pemimpin Parsi yang menjadi musuh bebuyutan kaum Muslimin, tertawan di medan perang dan di bawa menghadap Khalifah di Madinah. Ia sadar kepalanya pasti akan dipenggal karena dosanya sebagai pembunuh sekian banyak orang kaum Muslimin. Dia tampaknya merencanakan sesuatu, dan meminta segelas air. Permohonannya dipenuhi, tapi anehnya ia tidak mau minum air yang dihidangkan. Dia rupanya merasa akan dibunuh selagi mereguk minuman, Khalifah meyakinkannya, dia tidak akan dibunuh kecuali jika Hurmuz meminum air tadi. Hurmuz yang cerdik seketika itu juga membuang air itu. Ia lalu berkata, karena dia mendapatkan jaminan dari Khalifah, dia tidak akan minum air itu lagi. Khalifah memegang janjinya. Hurmuz yang terkesan dengan kejujuran Khalifah, akhirnya masuk Islam.

Khalifah Umar pernah berkata, “Kata-kata seorang Muslim biasa sama beratnya dengan ucapan komandannya atau khalifahnya.” Demokrasi sejati seperti ini diajarkan dan dilaksanakan selama kekhalifahan ar-rosyidin hampir tidak ada persamaannya dalam sejarah umat manusia. Islam sebagai agama yang demokratis, seperti digariskan Al-Qur’an, dengan tegas meletakkan dasar kehidupan demokrasi dalam kehidupan Muslimin, dan dengan demikian setiap masalah kenegaraan harus dilaksanakan melalui konsultasi dan perundingan. Nabi SAW. sendiri tidak pernah mengambil keputusan penting tanpa melakukan konsultasi. Pohon demokrasi dalam Islam yang ditanam Nabi dan dipelihara oleh Abu Bakar mencapai puncaknya pada jaman Khalifah Umar. Semasa pemerintahan Umar telah dibentuk dua badan penasehat. Badan penasehat yang satu merupakan sidang umum yang diundang bersidang bila negara menghadapi bahaya. Sedang yang satu lagi adalah badan khusus yang terdiri dari orang-orang yang integritasnya tidak diragukan untuk diajak membicarakan hal rutin dan penting. Bahkan masalah pengangkatan dan pemecatan pegawai sipil serta lainnya dapat dibawa ke badan khusus ini, dan keputusannya dipatuhi.

Umar hidup seperti orang biasa dan setiap orang bebas menanyakan tindakan-tindakannya. Suatu ketika ia berkata: “Aku tidak berkuasa apa pun terhadap Baitul Mal (harta umum) selain sebagai petugas penjaga milik yatim piatu. Jika aku kaya, aku mengambil uang sedikit sebagai pemenuh kebutuhan sehari-hari. Saudara-saudaraku sekalian! Aku abdi kalian, kalian harus mengawasi dan menanyakan segala tindakanku. Salah satu hal yang harus diingat, uang rakyat tidak boleh dihambur-hamburkan. Aku harus bekerja di atas prinsip kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.”

Suatu kali dalam sebuah rapat umum, seseorang berteriak: “O, Umar, takutlah kepada Tuhan.” Para hadirin bermaksud membungkam orang itu, tapi Khalifah mencegahnya sambil berkata: “Jika sikap jujur seperti itu tidak ditunjukan oleh rakyat, rakyat menjadi tidak ada artinya. Jika kita tidak mendengarkannya, kita akan seperti mereka.” Suatu kebebasan menyampaikan pendapat telah dipraktekan dengan baik.

Ketika berpidato suatu kali di hadapan para gubernur, Khalifah berkata: “Ingatlah, saya mengangkat Anda bukan untuk memerintah rakyat, tapi agar Anda melayani mereka. Anda harus memberi contoh dengan tindakan yang baik sehingga rakyat dapat meneladani Anda.”

Pada saat pengangkatannya, seorang gubernur harus menandatangani pernyataan yang mensyaratkan bahwa “Dia harus mengenakan pakaian sederhana, makan roti yang kasar, dan setiap orang yang ingin mengadukan suatu hal bebas menghadapnya setiap saat.” Menurut pengarang buku Futuhul-Buldan, di masa itu dibuat sebuah daftar barang bergerak dan tidak bergerak begitu pegawai tinggi yang terpilih diangkat. Daftar itu akan diteliti pada setiap waktu tertentu, dan penguasa tersebut harus mempertanggung-jawabkan terhadap setiap hartanya yang bertambah dengan sangat mencolok. Pada saat musim haji setiap tahunnya, semua pegawai tinggi harus melapor kepada Khalifah. Menurut penulis buku Kitab ul-Kharaj, setiap orang berhak mengadukan kesalahan pejabat negara, yang tertinggi sekalipun, dan pengaduan itu harus dilayani. Bila terbukti bersalah, pejabat tersebut mendapat ganjaran hukuman.

Muhammad bin Muslamah Ansari, seorang yang dikenal berintegritas tinggi, diangkat sebagai penyelidik keliling. Dia mengunjungi berbagai negara dan meneliti pengaduan masyarakat. Sekali waktu, Khalifah menerima pengaduan bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash, gubernur Kufah, telah membangun sebuah istana. Seketika itu juga Umar memutus Muhammad Ansari untuk menyaksikan adanya bagian istana yang ternyata menghambat jalan masuk kepemukiman sebagian penduduk Kufah. Bagian istana yang merugikan kepentingan umum itu kemudian dibongkar. Kasus pengaduan lainnya menyebabkan Sa’ad dipecat dari jabatannya.

Seorang sejarawan Eropa menulis dalam The Encyclopedia of Islam: “Peranan Umar sangatlah besar. Pengaturan warganya yang non-Muslim, pembentukan lembaga yang mendaftar orang-orang yang mendapat hak untuk pensiun tentara (divan), pengadaan pusat-pusat militer (amsar) yang dikemudian hari berkembang menjadi kota-kota besar Islam, pembentukan kantor kadi (qazi), semuanya adalah hasil karyanya. Demikian pula seperangkat peraturan, seperti sembahyang tarawih di bulan Ramadhan, keharusan naik haji, hukuman bagi pemabuk, dan hukuman pelemparan dengan batu bagi orang yang berzina.”

Khalifah menaruh perhatian yang sangat besar dalam usaha perbaikan keuangan negara, dengan menempatkannya pada kedudukan yang sehat. Ia membentuk “Diwan” (departemen keuangan) yang dipercayakan menjalankan administrasi pendapatan negara.

Pendapatan persemakmuran berasal dari sumber :

Zakat atau pajak yang dikenakan secara bertahap terhadap Muslim yang berharta. Kharaj atau pajak bumi Jizyah atau pajak perseorangan. Dua pajak yang disebut terakhir, yang membuat Islam banyak dicerca oleh sejarawan Barat, sebenarnya pernah berlaku di kerajaan Romawi dan Sasanid (Parsi). Pajak yang dikenakan pada orang non Muslim jauh lebih kecil jumlahnya dari pada yang dibebankan pada kaum Muslimin. Khalifah menetapkan pajak bumi menurut jenis penggunaan tanah yang terkena. Ia menetapkan 4 dirham untuk satu Jarib gandum. Sejumlah 2 dirham dikenakan untuk luas tanah yang sama tapi ditanami gersb (gandum pembuat ragi). Padang rumput dan tanah yang tidak ditanami tidak dipungut pajak. Menurut sumber-sumber sejarah yang dapat dipercaya, pendapatan pajak tahunan di Irak berjumlah 860 juta dirham. Jumlah itu tak pernah terlampaui pada masa setelah wafatnya Umar.

Ia memperkenalkan reform (penataan) yang luas di lapangan pertanian, hal yang bahkan tidak terdapat di negara-negara berkebudayaan tinggi di zaman modern ini. Salah satu dari reform itu ialah penghapusan zamindari (tuan tanah), sehingga pada gilirannya terhapus pula beban buruk yang mencekik petani penggarap. Ketika orang Romawi menaklukkan Syria dan Mesir, mereka menyita tanah petani dan membagi-bagikannya kepada anggota tentara, kaum ningrat, gereja, dan anggota keluarga kerajaan.

Sejarawan Perancis mencatat: “Kebijaksanaan liberal orang Arab dalam menentukan pajak dan mengadakan land reform sangat banyak pengaruhnya terhadap berbagai kemenangan mereka di bidang kemiliteran.”

Ia membentuk departemen kesejahteraan rakyat, yang mengawasi pekerjaan pembangunan dan melanjutkan rencana-rencana. Sejarawan terkenal Allamah Maqrizi mengatakan, di Mesir saja lebih dari 20.000 pekerja terus-menerus dipekerjakan sepanjang tahun. Sejumlah kanal di bangun di Khuzistan dan Ahwaz selama masa itu. Sebuah kanal bernama “Nahr Amiril Mukminin,” yang menghubungkan Sungai Nil dengan Laut Merah, dibangun untuk menjamin pengangkutan padi secara cepat dari Mesir ke Tanah Suci.

Selama masa pemerintahan Umar diadakan pemisahan antara kekuasaan pengadilan dan kekuasaan eksekutif. Von Hamer mengatakan, “Dahulu hakim diangkat dan sekarang pun masih diangkat. Hakim ush-Shara ialah penguasa yang ditetapkan berdasarkan undang-undang, karena undang-undang menguasai seluruh keputusan pengadilan, dan para gubernur dikuasakan menjalankan keputusan itu. Dengan demikian dengan usianya yang masih sangat muda, Islam telah mengumandangkan dalam kata dan perbuatan, pemisahan antara kekuasaan pengadilan dan kekuasaan eksekutif.” Pemisahan seperti itu belum lagi dicapai oleh negara-negara paling maju, sekalipun di zaman modern ini.

Umar sangat tegas dalam penegakan hukum yang tidak memihak dan tidak pandang bulu. Suatu ketika anaknya sendiri yang bernama Abu Syahma, dilaporkan terbiasa meminum khamar. Khalifah memanggilnya menghadap dan ia sendiri yang mendera anak itu sampai meninggal. Cemeti yang dipakai menghukum Abu Syahma ditancapkan di atas kuburan anak itu.

Kebesaran Khalifah Umar juga terlihat dalam perlakuannya yang simpatik terhadap warganya yang non Muslim. Ia mengembalikan tanah-tanah yang dirampas oleh pemerintahan jahiliyah kepada yang berhak yang sebagian besar non Muslim. Ia berdamai dengan orang Kristen Elia yang menyerah. Syarat-syarat perdamaiannya ialah: “Inilah perdamaian yang ditawarkan Umar, hamba Allah, kepada penduduk Elia. Orang-orang non Muslim diizinkan tinggal di gereja-gereja dan rumah-rumah ibadah tidak boleh dihancurkan. Mereka bebas sepenuhnya menjalankan ibadahnya dan tidak dianiaya dengan cara apa pun.” Menurut Imam Syafi’i ketika Khalifah mengetahui seorang Muslim membunuh seorang Kristen, ia mengijinkan ahli waris almarhum menuntut balas. Akibatnya, si pembunuh dihukum penggal kepala.

Khalifah Umar juga mengajak orang non Muslim berkonsultasi tentang sejumlah masalah kenegaraan. Menurut pengarang Kitab al-Kharaj, dalam wasiatnya yang terakhir Umar memerintahkan kaum Muslimin menepati sejumlah jaminan yang pernah diberikan kepada non Muslim, melindungi harta dan jiwanya, dengan taruhan jiwa sekalipun. Umar bahkan memaafkan penghianatan mereka, yang dalam sebuah pemerintahan beradab di zaman sekarang pun tidak akan mentolerirnya. Orang Kristen dan Yahudi di Hems bahkan sampai berdoa agar orang Muslimin kembali ke negeri mereka. Khalifah memang membebankan jizyah, yaitu pajak perlindungan bagi kaum non Muslim, tapi pajak itu tidak dikenakan bagi orang non Muslim, yang bergabung dengan tentara Muslimin.

Khalifah sangat memperhatikan rakyatnya, sehingga pada suatu ketika secara diam-diam ia turun berkeliling di malam hari untuk menyaksikan langsung keadaan rakyatnya. Pada suatu malam, ketika sedang berkeliling di luar kota Madinah, di sebuah rumah dilihatnya seorang wanita sedang memasak sesuatu, sedang dua anak perempuan duduk di sampingnya berteriak-teriak minta makan. Perempuan itu, ketika menjawab Khalifah, menjelaskan bahwa anak-anaknya lapar, sedangkan di ceret yang ia jerang tidak ada apa-apa selain air dan beberapa buah batu. Itulah caranya ia menenangkan anak-anaknya agar mereka percaya bahwa makanan sedang disiapkan. Tanpa menunjukan identitasnya, Khalifah bergegas kembali ke Madinah yang berjarak tiga mil. Ia kembali dengan memikul sekarung terigu, memasakkannya sendiri, dan baru merasa puas setelah melihat anak-anak yang malang itu sudah merasa kenyang. Keesokan harinya, ia berkunjung kembali, dan sambil meminta maaf kepada wanita itu ia meninggalkan sejumlah uang sebagai sedekah kepadanya.

Khalifah yang agung itu hidup dengan cara yang sangat sederhana. Tingkat kehidupannya tidak lebih tinggi dari kehidupan orang biasa. Suatu ketika Gubernur Kufah mengunjunginya sewaktu ia sedang makan. Sang gubernur menyaksikan makanannya terdiri dari roti gersh dan minyak zaitun, dan berkata, “Amirul mukminin, terdapat cukup di kerajaan Anda; mengapa Anda tidak makan roti dari gandum?” Dengan agak tersinggung dan nada murung, Khalifah bertanya, “Apakah Anda pikir setiap orang di kerajaanku yang begitu luas bisa mendapatkan gandum?” “Tidak,” Jawab gubernur. “Lalu, bagaimana aku dapat makan roti dari gandum? Kecuali bila itu bisa dengan mudah didapat oleh seluruh rakyatku.” Tambah Umar.

Dalam kesempatan lain Umar berpidato di hadapan suatu pertemuan. Katanya, “Saudara-saudara, apabila aku menyeleweng, apa yang akan kalian lakukan?” Seorang laki-laki bangkit dan berkata, “Anda akan kami pancung.” Umar berkata lagi untuk mengujinya, “Beranikah anda mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan seperti itu kepadaku?” “Ya, berani!” jawab laki-laki tadi. Umar sangat gembira dengan keberanian orang itu dan berkata, “Alhamdulillah, masih ada orang yang seberani itu di negeri kita ini, sehingga bila aku menyeleweng mereka akan memperbaikiku.”

Seorang filosof dan penyair Muslim tenar dari India menulis nukilan seperti berikut untuk dia: Jis se jigar-i-lala me thandak ho who shabnam Daryaan ke dil jis se dabel jaen who toofan

Seperti embun yang mendinginkan hati bunga lily, dan bagaikan topan yang menggelagakkan dalamnya sungai.

Sejarawan Kristen Mesir, Jurji Zaidan terhadap prestasi Umar berkomentar: “Pada zamannya, berbagai negara ia taklukkan, barang rampasan kian menumpuk, harta kekayaan raja-raja Parsi dan Romawi mengalir dengan derasnya di hadapan tentaranya, namun dia sendiri menunjukkan kemampuan menahan nafsu serakah, sehingga kesederhanaannya tidak pernah ada yang mampu menandingi. Dia berpidato di hadapan rakyatnya dengan pakaian bertambalkan kulit hewan. Dia mempraktekkan satunya kata dengan perbuatan. Dia mengawasi para gubernur dan jenderalnya dengan cermat dan dengan cermat pula menyelidiki perbuatan mereka. Bahkan Khalid bin Walid yang perkasa pun tidak terkecuali. Dia berlaku adil kepada semua orang, dan bahkan juga bagi orang non-Muslim. Selama masa pemerintahannya, disiplin baja diterapkan secara utuh.”

Kisah Indah Sang Khalifah

Siang di bumi Madinah, suatu hari. Matahari tengah benderang.

Teriknya sungguh garang menyapa hampir setiap jengkal kota dan pepasir lembah. Jalanan senyap, orang-orang lebih memilih istirahat di dalam rumah daripada bepergian dan melakukan perniagaan. Namun tidak baginya, lelaki tegap, berwajah teduh dan mengenakan jubah yang sederhana itu berjalan menyusuri lorong-lorong kota sendirian. Ia tidak peduli dengan panas yang menyengat. Ia tak terganggu dengan debu-debu yang naik ke udara. Ia terus saja bersemangat mengayun  langkah. Sesekali ekor matanya berkerling ke sana ke mari seperti tengah mengawasi. Hatinya lega, ketika daerah yang dilewatinya sentosa seperti kemarin.

Hingga ketika ia melewati salah satu halaman rumah seorang penduduk, tiba-tiba ia berhenti. Langkahnya surut. Pandangannya tertuju pada anak kecil di sana.  Ditajamkan pendengarannya, samar-samar ia seperti mendengar suara lirih cericit burung. Perlahan ia mendatanginya dan dengan lembut ia menyapa bocah laki-laki yang tengah asyik bermain.

"Nak, apa yang berada di tanganmu itu?" Wajah si kecil mendongak, hanya
sekilas dan menjawab.

"Paman, tidakkah paman lihat, ini adalah seekor burung," polosnya ringan.
Pandangan lelaki ini meredup, ia jatuh iba melihat burung itu mencericit parau.
Di dalam hatinya mengalun sebuah kesedihan, "Burung ini tentu sangat ingin terbang dan anak ini tidak mengerti jika mahluk kecil ini teraniaya."

"Bolehkah aku membelinya, nak? Aku sangat ingin memilikinya," suaranya penuh harap. Si kecil memandang lelaki yang tak dikenalnya dengan seksama. Ada gurat kesungguhan dalam paras beningnya. Lelaki itu masih saja menatapnya lekat. Akhirnya dengan agak ragu ia berkata, "Baiklah paman," maka anak kecil pun segera bangkit menyerahkan burung kepada lelaki yang baru pertama kali dijumpainya.

Tanpa menunggu, lelaki ini merogoh saku jubah sederhananya. Beberapa keping uang itu kini berpindah. Dalam genggamannya burung kecil itu dibawanya menjauh. Dengan hati-hati kini ia membuka genggamannya seraya bergumam senang, "Dengan menyebut asma Allah yang Maha Penyayang, engkau burung kecil, terbanglah...terbanglah..."

Maka sepasang sayap itu mengepak tinggi. Ia menengadah hening memandang burung yang terbang ke jauh angkasa. Sungguh, langit Madinah menjadi saksi, ketika senyuman senang tersungging di bibirnya yang seringkali bertasbih. Sayup-sayup didengarnya sebuah suara lelaki dewasa yang membuatnya pergi dengan langkah tergesa. "Nak, tahukah engkau siapa yang membeli burung mu itu? Tahukah engkau siapa lelaki mulia yang kemudian membebaskan burung itu ke angkasa? Dialah Khalifah Umar nak..."

 ***
Malam-malam di kota Madinah, suatu hari.

Masih seperti malam-malam sebelumnya, ia mengendap berjalan keluar dari rumah petak sederhana. Masih seperti malam kemarin, ia sendirian menelusuri jalanan yang sudah seperti nafasnya sendiri. Dengan udara padang pasir yang dingin tertiup, ia menyulam langkah-langkah merambahi rumah-rumah yang penghuninya ditelan lelap. Tak ingin malam ini terlewati tanpa mengetahui bahwa mereka baik-baik saja. Sungguh tak akan pernah rela ia harus berselimut dalam rumahnya tanpa kepastian di luar sana tak ada bala. Maka ia bertekad malam ini untuk berpatroli lagi.

Madinah sudah tersusuri, malam sudah hampir di puncak. Angkasa bertabur
kejora. Ia masih berjalan, meski lelah jelas terasa. Sesekali ia mendongak
melabuhkan pandangan ke langit Madinah yang terlihat jelita. Maka ia pun
tersenyum seperti terhibur dan memuja pencipta. Tak terasa Madinah sudah
ditinggalkan, ia berjalan sudah sampai di luar kota. Dan langkahnya terhenti
ketika dilihatnya seorang lelaki yang tengah duduk sendirian menghadap sebuah
pelita.

 "Assalamu'alaikum wahai fulan," ia menegur lelaki ini dengan santun.

 "Apakah yang engkau lakukan malam-malam begini sendirian," tambahnya. Lelaki itu tidak jadi menjawab ketika didengarnya dari dalam tenda suara perempuan yang memanggilnya dengan mengaduh. Dengan tersendat lelaki itu memberitahu bahwa istrinya akan melahirkan. Lelaki itu bingung karena di sana tak ada sanak saudara yang dapat diminta pertolongannya.

Setengah berlari maka ia pun pergi, menuju rumah sederhananya yang masih
sangat jauh. Ia menyeret kakinya yang sudah lelah karena telah mengelilingi Madinah. Ia terus saja berlari, meski kakinya merasakan dengan jelas batu-batu
yang dipijaknya sepanjang jalan. Tentu saja karena alas kakinya telah tipis dan dipenuhi lubang. Ia jadi teringat kembali sahabat-sahabatnya yang mengingatkan
agar ia membeli sandal yang baru.

"Ummu Kultsum, bangunlah, ada kebaikan yang bisa kau lakukan malam ini," Ia membangunkan istrinya dengan nafas tersengal. Sosok perempuan itu menurut tanpa sepatah kata. Dan kini ia tak lagi sendiri berlari. Berdua mereka membelah
malam. Allah menjadi saksi keduanya dan memberikan rahmah hingga dengan selamat mereka sampai di tenda lelaki yang istrinya akan melahirkan.

Ummu Kultsum segera masuk dan membantu persalinan. Allah Maha Besar, suara tangis bayi singgah di telinga. Ibunya selamat. Lelaki itu bersujud mencium
tanah dan kemudian menghampirinya sambil berkata, "Siapakah engkau, yang begitu mulia menolong kami?"

Lelaki ini tidak perlu memberikan jawaban karena suara Ummi Kultsum saat itu
memenuhi lengang udara, "Wahai Amirul Mukminin, ucapkan selamat kepada tuan rumah, telah lahir seorang anak laki-laki yang gagah."

***
Sahabat, betapa terpesona, mengenang kisah indah Khalifah Umar bin Khatab. Ia adalah seorang pemimpin negara, tapi sejarah mengabadikan kesehariannya sebagai orang sederhana tanpa berlimpah harta. Ia adalah orang yang paling berkuasa, tapi lembaran kisah hidupnya begitu penuh kerja keras dalam mengayomi seluruh rakyatnya. Ia adalah orang nomor satu tapi siang dan malamnya jarang dilalui dengan pengawal. Ia seorang penyayang meski kepada seekor burung. Ia sanggup berlari tanpa henti demi menolong seorang perempuan tak dikenal yang akan melahirkan. Dan ia melakukannya sendiri. Ia melakukannya sendiri.

 

Umar Bin Khattab dan Seorang Yahudi Tua

Sejak menjabat gubernur, Amr bin Ash tidak lagi pergi ke medan tempur. Dia lebih sering tinggal di istana. Di depan istananya yang mewah itu ada sebidang tanah yang luas dan sebuah gubuk reyot milik seorang Yahudi tua.
“Alangkah indahnya bila di atas tanah itu berdiri sebuah mesjid,” gumam sang gubernur.

Singkat kata, Yahudi tua itu pun dipanggil menghadap sang gubernur untuk bernegosiasi. Amr bin Ash sangat kesal karena si kakek itu menolak untuk menjual tanah dan gubuknya meskipun telah ditawar lima belas kali lipat dari harga pasaran.
“Baiklah bila itu keputusanmu. Saya harap Anda tidak menyesal!” ancam sang gubernur.
Sepeninggal Yahudi tua itu, Amr bin Ash memerintahkan bawahannya untuk menyiapkan surat pembongkaran. Sementara si kakek tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis. Dalam keputusannya terbetiklah niat untuk mengadukan kesewenang- wenangan gubernur Mesir itu pada Khalifah Umar bin Khattab.
“Ada perlu apa kakek, jauh-jauh dari Mesir datang ke sini?” tanya Umar bin Khattab. Setelah mengatur detak jantungnya karena berhadapan dengan seorang khalifah yang tinggi besar dan full wibawa, si kakek itu mengadukan kasusnya. Padahal penampilan khalifah Umar amat sederhana untuk ukuran pemimpin yang memiliki kekuasaan begitu luas. Dia ceritakan pula bagaimana perjuangannya untuk memiliki rumah itu.
Merah padam wajah Umar begitu mendengar penuturan orang tua itu.
“Masya Allah, kurang ajar sekali Amr!” kecam Umar.
“Sungguh Tuan, saya tidak mengada-ada,” si kakek itu semakin gemetar dan kebingungan. Dan ia semakin bingung ketika Umar memintanya mengambil sepotong tulang, lalu menggores tulang itu dengan pedangnya.

“Berikan tulang ini pada gubernurku, saudara Amr bin Ash di Mesir,” kata sang Khalifah, Al Faruq, Umar bin Khattab.
Si Yahudi itu semakin kebingungan, “Tuan, apakah Tuan tidak sedang mempermainkan saya!” ujar Yahudi itu pelan.
Dia cemas dan mulai berpikir yang tidak-tidak.Jangan-jangan khalifah dan gubernur setali tiga uang, pikirnya. Di manapun, mereka yang mayoritas dan memegang kendali pasti akan menindas kelompok minoritas, begitu pikir si kakek. Bisa jadi dirinya malah akan ditangkap dan dituduh subversif.
Yahudi itu semakin tidak mengerti ketika bertemu kembali dengan Gubernur Amr bin Ash. “Bongkar masjid itu!” teriak Amr bin Ash gemetar. Wajahnya pucat dilanda ketakutan yang amat sangat. Yahudi itu berlari keluar menuju gubuk reyotnya untuk membuktikan sesungguhan perintah gubernur. Benar saja, sejumlah orang sudah bersiap-siap menghancurkan masjid megah yang sudah hampir jadi itu.
“Tunggu!” teriak sang kakek. “Maaf, Tuan Gubernur, tolong jelaskan perkara pelik ini. Berasal dari apakah tulang itu? Apa keistimewaan tulang itu sampai-sampai Tuan berani memutuskan untuk membongkar begitu saja bangunan yang amat mahal ini. Sungguh saya tidak mengerti!” Amr bin Ash memegang pundak si kakek, “Wahai kakek, tulang itu hanyalah tulang biasa, baunya pun busuk.”
“Tapi…..” sela si kakek.

“Karena berisi perintah khalifah, tulang itu menjadi sangat berarti.
Ketahuilah, tulang nan busuk itu adalah peringatan bahwa berapa pun tingginya kekuasaan seseorang, ia akan menjadi tulang yang busuk. Sedangkah huruf alif yang digores, itu artinya kita harus adil baik ke atas maupun ke bawah. Lurus seperti huruf alif. Dan bila saya tidak mampu menegakkan keadilan, khalifah tidak segan-segan memenggal kepala saya!” jelas sang gubernur.

“Sungguh agung ajaran agama Tuan. Sungguh, saya rela menyerahkan tanah dan gubuk itu. Dan bimbinglah saya dalam memahami ajaran Islam!” tutur si kakek itu dengan mata berkaca-kaca.

Umar bin Khtttab adalah salah seorang sahabat nabi dan khalifah kedua setelah wafatnya Abu Bakar As-Sidiq. Jasa dan pengaruhnya terhadap penyebaran Islam sangat besar hingga Michael H. Heart menempatkannya sebagai orang paling berpengaruh nomor 51 sedunia sepanjang masa.
Beliau lahir di Mekah dari Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy dengan nama lengkap Umar bin Khattab bin Nafiel bin abdul Uzza. Keluarga Umar tergolong keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis yang pada masa itu merupakan sesuatu yang jarang. Umar juga dikenal karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah.

Umar tumbuh menjadi pemuda yang disegani dan ditakuti pada masa itu. Wataknya yang keras membuatnya mendapat julukan “Singa Padang Pasir”. Ia juga amat keras dalam membela agama tradisional bangsa Arab yang menyembah berhala serta menjaga adat-istiadat mereka. Bahkan putrinya dikubur hidup-hidup demi menjaga kehormatan Umar.
Dikatakan bahwa pada suatu saat, Umar berketetapan untuk membunuh Muhammad SAW. Saat mencarinya, ia berpapasan dengan seorang muslim (Nu’aim bin Abdullah) yang kemudian memberi tahu bahwa saudara perempuannya juga telah memeluk Islam. Umar terkejut atas pemberitahuan itu dan pulang ke rumahnya.
Di rumah Umar menjumpai bahwa saudaranya sedang membaca ayat-ayat Al Qur’an (surat Thoha), ia menjadi marah akan hal tersebut dan memukul saudaranya. Ketika melihat saudaranya berdarah oleh pukulannya ia menjadi iba, dan kemudian meminta agar bacaan tersebut dapat ia lihat. Ia kemudian menjadi sangat terguncang oleh isi Al Qur’an tersebut dan kemudian langsung memeluk Islam pada hari itu juga.
Sebagai seorang petinggi militer dan ahli siasat yang baik, Umar sering mengikuti berbagai peperangan yang dihadapi umat Islam bersama Rasullullah Saw. Ia ikut terlibat pada perang Badar, Uhud, Khaybar serta penyerangan ke Syria.
Setelah wafatnya Rasullullah Saw., beliau merupakan salah satu shabat yang sangat terpukul dengan kejadian tersebut. Ia bahkan pernah mencegah dimakamkannya Rasullullah karena yakin bahwa nabi tidaklah wafat, melainkan hanya sedang tidak berada dalam tubuh kasarnya, dan akan kembali sewaktu-waktu. Namun setelah dinasehati oleh Abu Bakar, Umar kemudian sadar dan ikut memakamkan Rasullullah.
Pada masa Abu Bakar menjabat sebagai khalifah, Umar merupakan salah satu penasehat kepalanya. Kemudian setelah meninggalnya Abu Bakar pada tahun 634, atas wasiat Abu Bakar Umar ditunjuk menggantikannya dan disetujui oleh seluruh perwakilan muslim saat itu.
Selama masa jabatannya, khalifah Umar amat disegani dan ditakuti negara-negara lain. Kekuatan Islam maju pesat, mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium).
Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di jaman itu, ia tetap hidup sebagaimana saat para pemeluk Islam masih miskin dan dianiaya. Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun keempat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah.
Umar syahid setelah ditikam oleh Abu Lukluk, seorang budak asal Persia yang dendam atas kekalahan Persia terhadap Islam pada suatu subuh saat Umar sedang mengerjakan shalat. Umar meninggal pada 25 Dzulhijjah 23 H dan selanjutnya digantikan oleh Utsman bin Affan.


RIWAYAT HIDUP UMAR BIN KHATTAB
 “Ya Allah, jadikanlah Islam ini kuat dengan masuknya salah satu dari kedua orang ini. Amr bin Hisham atau Umar bin Khattab.” Salah satu dari doa Rasulullah pada saat Islam masih dalam tahap awal penyebaran dan masih lemah. Doa itu segera dikabulkan oleh Allah. Allah memilih Umar bin Khattab sebagai salah satu pilar kekuatan islam, sedangkan Amr bin Hisham meninggal sebagai Abu Jahal.
Umar bin Khattab dilahirkan 12 tahun setelah kelahiran Rasulullah. Ayahnya bernama Khattab dan ibunya bernama Khatamah. Perawakannya tinggi besar dan tegap dengan otot-otot yang menonjol dari kaki dan tangannya, jenggot yang lebat dan berwajah tampan, serta warna kulitnya coklat kemerah-merahan.
Beliau dibesarkan di dalam lingkungan Bani Adi, salah satu kaum dari suku Quraisy. Beliau merupakan  khalifah kedua di dalam Islam setelah Abu Bakar. Nasabnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qarth bin Razah bin ‘Adiy bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada kakeknya Ka’ab. Antara beliau dengan Rasulullah selisih 8 kakek. lbu beliau bernama Khatamah binti Hasyim bin al Mughirah al Makhzumiyah. Rasulullah memberi beliau kunyah Abu Hafsh (bapak Hafsh) karena Hafshah adalah anaknya yang paling tua dan memberi laqab (julukan) al Faruq.
Umar bin Khattab Masuk Islam
Sebelum masuk Islam, Umar bin Khattab dikenal sebagai seorang yang keras permusuhannya dengan kaum Muslimin, bertaklid kepada ajaran nenek moyangnya, dan melakukan perbuatan-perbuatan jelek yang umumnya dilakukan kaum Jahiliyah, namun tetap bisa menjaga harga diri. Beliau masuk Islam pada bulan Dzulhijah tahun ke-6 kenabian, tiga hari setelah Hamzah bin Abdul Muthalib masuk Islam.
Ringkas cerita, pada suatu malam beliau datang ke Masjidil Haram secara sembunyi-sembunyi untuk mendengarkan bacaan shalat Rasulullah. Waktu itu Rasulullah membaca surat al Haqqah. Umar bin Khattab kagum dengan susunan kalimatnya lantas berkata pada dirinya sendiri- “Demi Allah, ini adalah syair sebagaimana yang dikatakan kaum Quraisy.” Kemudian beliau mendengar Rasulullah membaca ayat 40-41 (yang menyatakan bahwa Al Qur’an bukan syair), lantas beliau berkata, “Kalau begitu berarti dia itu dukun.” Kemudian beliau mendengar bacaan Rasulullah ayat 42, (Yang menyatakan bahwa Al-Qur’an bukan perkataan dukun.) akhirnya beliau berkata, “Telah terbetik lslam di dalam hatiku.” Akan tetapi karena kuatnya adat jahiliyah, fanatik buta, pengagungan terhadap agama nenek moyang, maka beliau tetap memusuhi Islam.
Kemudian pada suatu hari, beliau keluar dengan menghunus pedangnya bermaksud membunuh Rasulullah. Dalam perjalanan, beliau bertemu dengan Nu`aim bin Abdullah al ‘Adawi, seorang laki-laki dari Bani Zuhrah. Lekaki itu berkata kepada Umar bin Khattab, “Mau kemana wahai Umar?” Umar bin Khattab menjawab, “Aku ingin membunuh Muhammad.” Lelaki tadi berkata, “Bagaimana kamu akan aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhrah, kalau kamu membunuh Muhammad?” Maka Umar menjawab, “Tidaklah aku melihatmu melainkan kamu telah meninggalkan agama nenek moyangmu.” Tetapi lelaki tadi menimpali, “Maukah aku tunjukkan yang lebih mencengangkanmu, hai Umar? Sesugguhnya adik perampuanmu dan iparmu telah meninggalkan agama yang kamu yakini.”
Kemudian dia bergegas mendatangi adiknya yang sedang belajar Al Qur’an, surat Thaha kepada Khabab bin al Arat. Tatkala mendengar Umar bin Khattab datang, maka Khabab bersembunyi. Umar bin Khattab masuk rumahnya dan menanyakan suara yang didengarnya. Kemudian adik perempuan Umar bin Khattab dan suaminya berkata, “Kami tidak sedang membicarakan apa-apa.” Umar bin Khattab menimpali, “Sepertinya kalian telah keluar dari agama nenek moyang kalian.” Iparnya menjawab, “Wahai Umar, apa pendapatmu jika kebenaran itu bukan berada pada agamamu?” Mendengar ungkapan tersebut Umar bin Khattab memukulnya hingga terluka dan berdarah, karena tetap saja saudaranya itu mempertahankan agama Islam yang dianutnya, Umar bin Khattab berputus asa dan menyesal melihat darah mengalir pada iparnya.
Umar bin Khattab berkata, “Berikan kitab yang ada pada kalian kepadaku, aku ingin membacanya.” Maka adik perempuannya berkata, “Kamu itu kotor. Tidak boleh menyentuh kitab itu kecuali orang yang bersuci. Mandilah terlebih dahulu!” Lantas Umar bin Khattab mandi dan mengambil kitab yang ada pada adik perempuannya. Ketika dia membaca surat Thaha, dia memuji dan muliakan isinya, kemudian minta ditunjukkan keberadaan Rasulullah.
Tatkala Khabab mendengar perkataan Umar bin Khattab, dia muncul dari persembunyiannya dan berkata, “Aku akan beri kabar gembira kepadamu, wahai Umar! Aku berharap engkau adalah orang yang didoakan Rasulullah pada malam Kamis, ‘Ya Allah, muliakan Islam dengan Umar bin Khatthab atau Abu Jahl (Amru) bin Hisyam.’ Waktu itu, Rasulullah berada di sebuah rumah di daerah Shafa.” Umar bin Khattab mengambil pedangnya dan menuju rumah tersebut, kemudian mengetuk pintunya. Ketika ada salah seorang melihat Umar bin Khattab datang dengan pedang terhunus dari celah pintu rumahnya, dikabarkannya kepada Rasulullah. Lantas mereka berkumpul. Hamzah bin Abdul Muthalib bertanya, “Ada apa kalian?” Mereka menjawab, “Umar datang!” Hamzah bin Abdul Muthalib berkata, “Bukalah pintunya. Kalau dia menginginkan kebaikan, maka kita akan menerimanya, tetapi kalau menginginkan kejelekan, maka kita akan membunuhnya dengan pedangnya.” Kemudian Rasulullah menemui Umar bin Khattab dan berkata kepadanya, “Ya Allah, ini adalah Umar bin Khattab. Ya Allah, muliakan Islam dengan Umar bin Khattab.” Dan dalam riwayat lain, “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan Umar.”
Seketika itu pula Umar bin Khattab bersyahadat, dan orang-orang yang berada di rumah tersebut bertakbir dengan keras. Menurut pengakuannya dia adalah orang yang ke-40 masuk Islam. Abdullah bin Mas’ud berkomentar, “Kami senantiasa berada dalam kejayaan semenjak Umar bin Khattab masuk Islam.”

Kepemimpinan Umar bin Khattab
Keislaman beliau telah memberikan andil besar bagi perkembangan dan kejayaan Islam. Beliau adalah pemimpin yang adil, bijaksana, tegas, disegani, dan selalu memperhatikan urusan kaum muslimin. Pemimpin yang menegakkan ketauhidan dan keimanan, merobohkan kesyirikan dan kekufuran, menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah. Beliau adalah orang yang paling baik dan paling berilmu tentang al Qur’an dan as Sunnah setelah Abu Bakar.
Kepemimpinan Umar bin Khattab tak seorangpun yang dapat meragukannya. Seorang tokoh besar setelah Rasulullah dan Abu Bakar. Pada masa kepemimpinannya kekuasaan Islam bertambah luas. Beliau berhasil menaklukkan Persia, Mesir, Syam, Irak, Burqah, Tripoli bagian barat, Azerbaijan, Jurjan, Basrah, Kufah dan Kairo.
Dalam masa kepemimpinan sepuluh tahun Umar bin Khattab itulah, penaklukan-penaklukan penting dilakukan Islam. Tak lama sesudah Umar bin Khattab memegang tampuk kekuasaan sebagai khalifah, pasukan Islam menduduki Suriah dan Palestina, yang kala itu menjadi bagian Kekaisaran Byzantium. Dalam pertempuran Yarmuk (636 M), pasukan Islam berhasil memukul habis kekuatan Byzantium. Damaskus jatuh pada tahun itu juga, dan Darussalam menyerah dua tahun kemudian. Menjelang tahun 641 M, pasukan Islam telah menguasai seluruh Palestina dan Suriah, dan terus menerjang maju ke daerah yang kini bernama Turki. Tahun 639 M, pasukan Islam menyerbu Mesir yang juga saat itu di bawah kekuasaan Byzantium. Dalam tempo tiga tahun, penaklukan Mesir diselesaikan dengan sempurna.
Penyerangan Islam terhadap Irak yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia telah mulai bahkan sebelum Umar bin Khattab naik jadi khalifah. Kunci kemenangan Islam terletak pada pertempuran Qadisiya tahun 637 M, terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Menjelang tahun 641 M, seseluruh Irak sudah berada di bawah pengawasan Islam. Dan bukan hanya itu, pasukan Islam bahkan menyerbu langsung Persia dan dalam pertempuran Nehavend (642 M), mereka secara menentukan mengalahkan sisa terakhir kekuatan Persia. Menjelang wafatnya Umar bin Khattab di tahun 644 M, sebagian besar daerah barat Iran sudah terkuasai sepenuhnya. Gerakan ini tidak berhenti tatkala Umar bin Khattab wafat. Di bagian timur mereka dengan cepat menaklukkan Persia dan bagian barat mereka mendesak terus dengan pasukan menyeberang Afrika Utara.
Selain pemberani, Umar bin Khattab juga seorang yang cerdas. Dalam masalah ilmu diriwayatkan oleh Al Hakim dan Thabrani dari Ibnu Mas’ud berkata, “Seandainya ilmu Umar bin Khattab diletakkan pada tepi timbangan yang satu dan ilmu seluruh penghuni bumi diletakkan pada tepi timbangan yang lain, niscaya ilmu Umar bin Khattab lebih berat dibandingkan ilmu mereka. Mayoritas sahabat pun berpendapat bahwa Umar bin Khattab menguasai 9 dari 10 ilmu. Dengan kecerdasannya beliau menelurkan konsep-konsep baru, seperti menghimpun Al Qur’an dalam bentuk mushaf, menetapkan tahun Hijriyah sebagai kalender umat Islam, membentuk kas negara (Baitul Maal), menyatukan orang-orang yang melakukan shalat sunah Tarawih dengan satu imam, menciptakan lembaga peradilan, membentuk lembaga perkantoran, membangun balai pengobatan, membangun tempat penginapan, memanfaatkan kapal laut untuk perdagangan, menetapkan hukuman cambuk bagi peminum khamr (minuman keras) sebanyak 80 kali cambuk, mencetak mata uang dirham, audit bagi para pejabat serta pegawai dan juga konsep yang lainnya.
Namun dengan begitu beliau tidaklah menjadi congkak dan tinggi hati. Justru beliau seorang pemimpin yang zuhud dan wara’. Beliau berusaha untuk mengetahui dan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Dalam satu riwayat Qatadah berkata, “Pada suatu hari Umar bin Khattab memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang sebagiannnya dipenuhi dengan tambalan dari kulit, padahal waktu itu beliau adalah seorang khalifah, sambil memikul jagung ia lantas berjalan mendatangi pasar untuk menjamu orang-orang.” Abdullah, puteranya berkata, “Umar bin Khattab berkata, ‘Seandainya ada anak kambing yang mati di tepian sungai Eufrat, maka umar merasa takut diminta pertanggung jawaban oleh Allah’.”
Beliaulah yang lebih dahulu lapar dan yang paling terakhir kenyang. Beliau berjanji tidak akan makan minyak Samin dan daging hingga seluruh kaum muslimin kenyang memakannya.
Tidak diragukan lagi, khalifah Umar bin Khattab adalah seorang pemimpin yang arif, bijaksana dan adil dalam mengendalikan roda pemerintahan. Bahkan ia rela keluarganya hidup dalam serba kekurangan demi menjaga kepercayaan masyarakat kepadanya tentang pengelolaan kekayaan negara. Bahkan Umar bin Khattab sering terlambat salat Jum’at hanya menunggu bajunya kering, karena dia hanya mempunyai dua baju.
Kebijaksanaan dan keadilan Umar bin Khattab ini dilandasi oleh kekuatirannya terhadap rasa tanggung jawabnya kepada Allah. Sehingga jauh-jauh hari Umar bin Khattab sudah mempersiapkan penggantinya jika kelak dia wafat. Sebelum wafat, Umar berwasiat agar urusan khilafah dan pimpinan pemerintahan, dimusyawarahkan oleh enam orang yang telah mendapat ridha Allah dan Rasulullah. Mereka adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidilah, Zubair binl Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Umar menolak menetapkan salah seorang dari mereka dengan berkata, “Aku tidak mau bertanggung jawab selagi hidup sesudah mati. Kalau Allah menghendaki kebaikan bagi kalian, maka Allah akan melahirkannya atas kebaikan mereka (keenam orang itu) sebagaimana telah ditimbulkan kebaikan bagi kamu oleh Nabimu.”

Wafatnya Umar bin Khattab
Pada hari Rabu bulan Dzulhijah tahun 23 H Umar Bin Kattab wafat. Beliau ditikam ketika sedang melakukan shalat Subuh oleh seorang Majusi yang bernama Abu Lu’luah (al Fairus dari Persia), budak milik al Mughirah bin Syu’bah diduga ia mendapat perintah dari kalangan Majusi. Umar bin Khattab dimakamkan di samping Rasulullah dan Abu Bakar, beliau wafat dalam usia 63 tahun. :')
Diambil dari berbagai sumber.

Kejujuran Khalifah Umar bin Abdul Aziz


Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah dari golongan Bani Umayyah. Beliau terkenal seorang pembesar yang jujur dan amanah. Pusat pikiran dan usahanya senantiasa mengutamakan kepentingan rakyat. Sikapnya ramah, tindakannya adil, hidupnya sederhana, bekerja sampai jauh malam dan lain-lain keistimewaan yang dimilikinya.
Pada suatu malam, tatkala dia sedang tekun bekerja di ruangan kantornya dalam istana, tiba-tiba datanglah puteranya masuk ruangan tersebut untuk membicarakan sesuatu yang penting yang berkenaan dengan urusan kekeluargaan.
Setelah putera sang khalifah itu duduk di hadapannya, tiba-tiba di padamkannya lampu yang terletak di atas mejanya, yang tadinya dipakai untuk menerangi ruangan tempat kerja itu. Puteranya terkejut dan keheranan melihat sikap sang ayah yang demikian itu, dan kemudian bertanya dengan nada kagum:
“Wahai ayah, kenapa lampunya dipadamkan? Bukankah kita lebih baik berbicara di bawah sinar lampu yang terang?”
Jawab sang ayah:
“Memang lebih baik kita berbicara dibawah sinar lampu yang terang, tetapi lampu yang sedang ayah pakai untuk bekerja tadi milik negara, minyak yang dipergunakan untuk itu dibeli dengan uang negara, sedangkan soal yang hendak engkau bicarakan dengan ayah adalah soal kekeluargaan.”
Sejenak kemudian, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memanggil pelayannya dan menyuruh membawakan lampu dari ruangan dalam, disuruh nyalakan lampu tersebut dan setelah itu dia lalu berkata kepada puteranya:
“Sekarang, lampu yang baru menyala ini adalah milik kita sendiri, minyaknyapun dibeli dengan uang kita sendiri. Sekarang, silahkan engkau mengemukakan apa yang hendak engkau bicarakan dengan ayah.”

Sumber : Buku 1001 Kisah Teladan